Thursday, January 3, 2013

A way to survive.

Seseorang tidak harus menjadi sempurna untuk bicara tentang satu hal baik.
Tidak juga boleh bicara tentang satu hal baik, dengan seolah-olah ia sempurna.

Tapi, jadi bingung nggak sih.
Mungkin saya terlalu lama terdiam, berkutat dengan pikiran sendiri. Menjadikan saya tidak mampu lagi berpikir kritis akan semua hal yang terjadi di sekitar. Menjadikan saya melewatkan banyak hal yang seharusnya saya kaji. Saya terlalu terlarut memikirkan mana yang seharusnya dilakukan, mana yang tidak. Mana yang salah, mana yang benar. Dan yang lebih fatal, saya terlalu terlarut memikirkan. 
Apa sih yang sebenarnya sedang orang-orang lakukan.

There is a saying, a good man acts before he talks, and do the things according to his sayings.
Then I guess, good people are hard to find.

Yang katanya mau berbakti, berkorban, berguna bagi bangsa. Tapi cinta sama almamater sendiri aja susah. Entah apa bedanya sekolah sama negara. Ada yang baik, yang buruk, miskin, kaya, yang korup, yang jujur, semua ada.
Tapi kok, kerjanya cuma kritik. Nggak pernah punya jalan keluar. Nggak pernah bersyukur akan keadaan, akan semua yang sudah didapat. Harusnya jaga nama baik, malah nyebar aib sendiri.

Yang katanya akan selalu berjuang menegakkan hukum.
Kita dengan lantang membicarakan ini itu tentang polisi jalanan, tapi kita sendiri, punya sim aja nggak. Ada yang punya, hasil nembak. Patuh lalu lintas saja, tidak. 
Kita menolak keras pembajakan, tapi di hp, masih banyak lagu free download, tapi di kamar masih berserakan dvd bajakan, tapi hanya bisa copy-paste di dalam tugas karya tulisnya. Hukum yang boleh tegak, hanya yang menguntungkan kita saja, lalu, apa bedanya kita dengan yang terdahulu? Atau yang akan datang?

Yang katanya mau berjuang melawan korupsi, mengutamakan kejujuran dan keterbukaan. Yang dengan lantang, bersumpah serapah untuk petinggi negara, dengan kata-kata kasar, kotor. Tapi menjaga integritas diri sendiri saja, tidak. Budaya menyontek, terlihat kekal.

Yang katanya prihatin dengan generasi penerus bangsa saat ini, yang semakin lama semakin rusak. Oleh budaya barat, katanya. Oleh perkembangan teknologi, katanya. Tapi tanpa disadari, kita juga merupakan bagian yang rusak.

Yang katanya mau berbagi kepada sesama. Tapi ketika sampai dipuncak kenikmatan, ia lupa. Seolah semua yang kita dapatkan adalah hak yang bisa kita peroleh, atas semua yang telah kita lakukan dan perjuangkan. Padahal, semua yang kita dapatkan, adalah menjadi kewajiban untuk dibagikan, bukan hak semata.


Sebut saja aku tidak peduli, tidak peka, apatis, anti-sosial, penuh benci, skeptis, menutup mata, menutup telinga. Tidak apa. Aku memilih untuk diam, termenung malu akan diriku sendiri. 
Maaf. Tapi aku malu. Malu bicara tentang kerusakan sekitarku, padahal aku sendiri tidak pernah berbuat apa-apa untuk memperbaiki. Malu bicara untuk memperbaiki, padahal aku sendiri masih rusak. Aku belum diperbaiki. Aku bukan orang baik.
Aku hanya memilih diam, sebagai kekuatan untuk memapahku yang tengah tertatih, di tengah dunia yang tidak bisa berhenti bicara. Sehingga aku terlepas dari tanggung jawab, untuk melakukan apa yang aku katakan.


I chose to be quiet, as a power, in a world that can't stop talking. Boleh kan, Tuhan?


No comments:

Post a Comment

Pressurized.

Living without any similarity is way better than living with an effort to eliminate the dissimilarity. The pressure is there.